Rabu, 09 November 2011

HIKAYAT KALIMAS 1885-1948


Sedikit cerita tentang hikayat Kalimas yang sampai sekarang masih sering terdengar di telinga kita. Semoga bisa menambah pengetahuan kita ya kawan!!!

Kali Mas (Sungai Mas), adalah pecahan sungai Brantas yang berhulu di kota Mojokerto, mengalir ke arah timur laut dan bermuara di Surabaya, menuju selat Madura. Di beberapa tempat Kali Mas menjadi batas alam Kabupaten Sidoarjo dengan Kabupaten Gresik.

Pada jaman kolonial, pusat kegiatan juga ditempatkan di wilayah Surabaya bagian utara, yaitu sekitar kawasan Jembatan Merah, kawasan Jln. Veteran dan kawasan Jln. Pahlawan(saat ini). Demikian pula dengan  lokasi pemukiman berada tidak jauh dari pusat kegiatan tersebut, yaitu sekitar Jln. Diponegoro, Jln. Dr. Sutomo, Jln. Darmo, Jln.Urip Sumoharjo, Jln. Pemuda, Jln. Genteng Kali, Jln. Wijaya Kusuma dan sekitarnya.


Lambat laun seiring perkembangan Kota Surabaya menjadi kota dengan daya tarik kuat(khususnya di bidang ekonomi, sosial budaya, dan politik) maka lokasi pemukiman mulai menyebar ke arah yang lebih luas, yaitu ke Surabaya Selatan, Timur dan Barat. Sejarah Kali Mas menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah keberadaan Kota Surabaya. Bukti sejarah mencatat dalam prasasti Trowulan I yang berangka tahun 1358 M bahwa Surabaya merupakan sebuah desa di tepian sungai yang berfungsi sebagai tempat penyeberangan.

(Handinoto,1996), Keberadaan Kali Mas yang merupakan anak sungai dari Kali Brantas juga menjadi pintu bagi lalu lintas sungai di masa lalu, di mana sejarah mencatat bahwa sungai ini dapat dilayari dari hilir (Surabaya) hingga ke hulu (Kediri, Mojokerto). Pelabuhan Rakyat Kali Mas keberadaannya menunjang perkembangan Kota Surabaya sebagai kota perdagangan sejak masa lalu. Pada jaman colonial khususnya jaman Surabaya berada dalam kekuasaan VOC dan setelahnya dalam kekuasaan Pemerintah Belanda, saat itu peran Kali Mas sebagai urat nadi arus lalu lintas pelayaran memegang peranan strategis, sehingga kegiatan baik bisnis dan pemerintahan dipusatkan keberadaannya di sekitar Kali Mas, khususnya daerah sekitar Jembatan Merah.

Sekarang ini di wilayah sekitar Jembatan Merah masih dapat dilihat gedung-gedung tua peninggalan jaman Belanda, dan suasana Kali Mas masa lalu di sekitar Jembatan Merah. Berdasarkan tulisan von Faber terlihat bahwa peran sungai yang melewati Kota Surabaya (Kali Mas) mempunyai peran penting dalam penciptaan jaringan jalan Kota Surabaya di masa lalu. Pola jaringan jalan utama Kota Surabaya selalu mengikuti pola aliran Kali Surabaya/ Kali Mas dan cabangnya. Hal ini disebabkan konsentrasi penduduk Kota Surabaya memang berada di tepian kedua sungai tersebut.

Akibat pola jalan yang memanjang mengikuti aliran sungai dari Selatan menuju ke Utara serta penduduk yang terkonsentrasi di kedua tepian sungai, maka konsekuensinya adalah banyak ditemukan jembatan, yang menghubungkan penduduk di kedua tepian sungai, misalnya jembatan Patok, Peneleh, Bibis, Kalianyar, Jagalan, Genteng (van Deventerlaan) dan Cantikan. Pada tahun 1950an jumlah jembatan bertambah ke arah selatan, misalnya Jembatan Gubeng, Wonokromo, Sonokembang, dll. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 1825, pusat Kota Surabaya masih terletak di daerah Jembatan Merah tepatnya sebelah barat Jembatan Merah berikut pemukiman oraang Eropa (Handinoto,1996). Penduduk etnis Cina, Arab dan Melayu bermukim di sebelah timur Jembatan Merah. Sedangkan penduduk asli Surabaya menyebar sepanjang Kalimas di sebelah selatan kota.

Pada sekitar abad 18, berdasarkan von Faber (dalam Handinota,1996), Kalimas menjadi sumber kehidupan baik sebagai bahan baku air untuk persawahan juga sebagai bahan baku air bersih. Proses pengolahan air Kalimas menjadi air bersih melalui penjernihan dengan overmangaanzure (KMnO4) dan tawas (alum). Selanjutnya direbus dan disaring. Jika terjadi epidemi kolera, maka dianjurkan agar air yang telah dimasak sekalipun ditambah dengan zoutzuur. Selain sebagai sumber air, Kalimas juga menjadi penampung air untuk pematusan dan pembuangan limbah. Bahkan kondisi kesulitan mengendalikan banjir juga dialami Kota Surabaya sejak jaman dulu. Sekitar tahun 1800an daerah sekitar Simpang sering terganggu banjir luapan Kalimas di musim hujan. Untuk mengatasinya maka pemerintah Belanda membangun kanal-kanal, misalnya di tahun 1856 dibangun banjir kanal menuju Selat Madura dan bendungan air di Jagir. Selain itu dalam upaya untuk melestarikan sungai, bangunan air lain yang dibangun di Kalimas agar tetap dapat dilayari sampai Kali Surabaya adalah pembangunan pintu air di Gubeng dan Wonokromo antara tahun 1889 sampai 1917.

Muara Kali Mas merupakan pelabuhan tradisional Surabaya, yang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu, ini menjadi pintu gerbang menuju ibukota Kerajaan Majapahit (di Trowulan), dan di sekitar sungai ini pula pernah terjadi pertempuran antara Raden Wijaya (pendiri Majapahit) melawan pasukan Tartar (di bawah dinasti Mongol) pada abad ke-13.

Semenjak penguasaan oleh VOC Kali Mas menjadi salah satu sarana transportasi air yang sangat ramai. Hilir mudik sampan dan perahu kecil mengangkut barang komoditi dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dari Pelabuhan Tanjung Perak. Mereka membawa masuk komoditi tersebut ke daerah pedalaman kota, mulai dari Kembang Jepun (daerah pecinan di Surabaya) hingga daerah Kayun (sekarang menjadi lokasi Plaza Surabaya).

Di kayun dekat lokasi Plaza Surabaya ini bahkan pernah beroperasi jembatan gantung yang dapat diangkat saat ada kapal komoditas yang melintas masuk daerah tersebut. Kini jembatan tersebut sudah tidak dapat kita jumpai lagi. Namun pintu air Gubeng masih berfungsi sampai sekarang.

Sejumlah jembatan yang melintasi Kali Mas di Surabaya ditetapkan sebagai cagar budaya karena memiliki nilai historis dan arsitektur yang penting. Diantaranya Jembatan Petekan, Jembatan Peneleh, Jembatan Genteng, Jembatan Gubeng dan Jembatan Wonokromo. Oh ya perlu kita tahu juga Jembatan Petekan dahulu dikenal sebagai salah satu ophaal brug (jembatan angkat terbaik) pertama yang dimiliki Surabaya setelah itu baru ophaal brug (jembatan angkat Gubeng) yang saat ini sudah hilang. Masih pula bisa kita tengok saat kita melintasi Jembatan Wonokromo dengan dua sisinya yang satu dari arah Ahmad Yani ke Joyoboyo dan satu lagi dari arah pasar Wonokromo ke arah Jln. Ngagel.

Jadi sekarang kalau kita lewat jembatan-jembatan tersebut jadi tahu sedikit banyak tentang ceritanya kan kawan???semoga bermanfaat dan mari kita cintai bangunan cagar budaya di sekitar kita agar tetap lestari untuk anak cucu kita kelak,hihihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar